oleh :
I Wayan Suarnata
A. Interaksi Inang-Patogen
Pada bagian ini, kita akan mempertimbangkan tiga contoh yang sangat berbeda mengenai interaksi antara inang dan parasit atau patogen, dengan tujuan memberikan suatu indikasi tentang berbagai cara terjadinya interaksi tersebut.
1. Myxomatosis pada kelinci
Tidak ada usaha yang dilakukan oleh manusia yang berdampak besar pada populasi kelinci sampai CSIRO melepaskan galur virus myxoma yang bersifat virulent ke dalam populasi kelinci pada tahun 1950. Karena belum pernah kemasukan virus, kelinci-kelinci tersebut menjadi sangat rentan; liabilitas terhadap myxomatosis sangat tinggi--hampir 100% kelinci yang terinfeksi mati. Jika tidak ada variasi genetik untuk liabilitas terhadap myxomatosis pada populasi kelinci, seleksi alam yang sangat kuat ini tidak akan berpengaruh. Itu tidak untuk mengatakan bahwa program myxomatosis seharusnya jangan dilakukan oleh CSIRO; justru sebaliknya, program tersebut sangat berhasil dan terus memainkan peranan penting dalam pengendalian populasi kelinci. Interaksi inang–patogen yang dicontohkan oleh kelinci dan virus myxoma merupakan sesuatu yang khas. Sekarang kita akan membahas sebuah contoh tentang interaksi inang–patogen yang juga penting tapi agak kurang khas. Malahan, dalam contoh khusus ini, ada perdebatan mengenai seluk-beluk patogen.
2. Penyakit prion
Ada sekelompok penyakit yang disebut spongioform encephalopathies, yang merupakan penyakit neurologis fatal yang telah diketahui selama beberapa tahun pada domba dan kambing (penyakit ini disebut scrapie), dan pada manusia (disebut penyakit kuru, penyakit Creutzfeldt-Jacob, dan sindrom Gerstmann-Straussler–Scheinker). Namun demikian, tampaknya penyebab penyakit tersebut adalah suatu bentuk termodifikasi dari protein yang disandi oleh gen di dalam inang. Nama yang diberikan pada partikel protein yang menginfeksi ini adalah prion.
Gen inang tersebut dinamakan gen protein prion (PrP), yang adalah bagian normal dari genom mamalia dan ayam. Contoh menarik dan tidak biasa mengenai interaksi inang-patogen ini telah membingungkan para ilmuwan selama beberapa dekade, tapi pada tahun 1986 penyakit prion menjadi issue kesehatan publik internasional ketika sapi di Inggris memunculkan penyakit baru yang disebut bovine spongioform encephalopathy (BSE atau penyakit sapi gila). Diduga penyebab penyakit baru ini adalah pindahnya agen scrapie dari domba ke sapi, melalui pemberian pakan kotoran domba kepada sapi. Meskipun agen scrapie menyebabkan kematian pada sapi, tetapi tampaknya tidak bersifat infeksi pada sapi, dan tidak juga mampu pindah dari sapi ke spesies lain sehingga tidak terinfeksi.
3. African trypanosomiasis
African trypanosomiasis adalah penyaki ternak terpenting dari semua penyakit ternak di Afrika. Penyakit ini membunuh ribuan ternak setiap tahunnya, dan menurunkan produksi ratusan ribu sapi lain yang menderita infeksi kronis. Ciri paling menarik dari infeksi tripanosoma adalah bahwa infeksi ini ditandai oleh fluktuasi jumlah tripanosoma pada inang yang terinfeksi, yang berkisar antara nol sampai kira-kira 1.500/ml darah. Alasan fluktuasi tersebut merupakan suatu fenomena yang disebut variasi antigen, yaitu terjadinya sekuens varian antigen yang berbeda yang semuanya timbul dari populasi pathogen tunggal yang awalnya memasuki inang. Genom tripanosoma mengandung lebih dari 100 gen yang masing-masing menyandi jenis antigen berbeda. Fenomena variasi antigen adalah contoh penting mengenai interaksi inang-patogen. Dan itu berlaku untuk semua karena interkasi ini terjadi tidak hanya pada tripanosoma tapi juga pada protozoa lain termasuk anggota genus Plasmodium, yang menyebabkan malaria, dan genus Babesia, yang menyebabkan babbesiosus atau tick fever, suatu penyakit penting pada sapi yang telah disebutkan dalam Bab 8.
B. Resistensi pada Inang
Di antara beberapa contoh yang dicatat adalah variasi genetik untuk resistensi terhadap bakteri, virus, dan protozoa pada ayam; untuk resistensi terhadap bakteri pada kalkun; untuk resistensi terhadap bakteri, virus, dan protozoa pada ikan; untuk resistensi terhadap serangga (serangga lalat), bakteri(sakit pada kulit, sakit pada kaki), nematoda, dan bermacam-macam virus pada domba; untuk resistensi terhadap bakteri (athropic rhinitis dan scours) pada babi; dan untuk resistensi terhadap arthropoda (cattle tick, horn fly, stable fly), nematoda, tripanosoma, dan bakteri (mastitis) pada sapi.
1. Resistensi terhadap neonatal scours pada babi
penyebab utama neonatal scours pada babi adalah galur E. coli yang mempunyai antigen pada permukaan sel yang disebut K88. Tapi tidak semua anak babi rentan terhadap E. Coli K88. Secara khusus, hanya anak-anak babi dengan reseptor K88 pada dinding ususnya yang menjadi rentan; anak babi yang tidak punya reseptor akan resisten.
2. Penyakit Marek pada ayam adalah penyakit neoplastik dimana terjadinya pertumbuhan dari sel-sel tumor disebabkan oleh virus DNA. Ketika populasi galur ayam kontrol yang diternakkan secara acak diseleksi untuk sifat resistensi terhadap penyakit Marek, kematian akibat penyakit ini menurun secara dramatis dari sekitar 50% ke kurang dari 10% hanya dalam empat generasi. seleksi telah menghasilkan perubahan besar dalam liabilitas terhadap penyakit Marek.
C. Resistensi terhadap Parasit dan Patogen
1. Resistensi terhadap insektisida pada blowfly domba
Blowfly domba Australia, Lucilia cuprina, adalah penyebab utama hilangnya pendapatan industri wul di Australia, melalui kerusakan yang dilakukan oleh larva terhadap domba hidup, dan berakibat hilangnya produksi wul dan kematian domba. Upaya manusia untuk mengendalikan blowfly sampai saat ini terfokus terutama pada penyemprotan (jetting) dengan insektisida. Penggunaan insektisida segera menimbulkan respon yang dapat diduga pada blowfly. Sekarang telah diketahui bahwa blowflies menjadi resisten pada setiap bahan kimia karena seleksi alam yang sangat kuat memilih alel untuk resistensi pada satu atau lebih lokus pada blowfly. Mengubah dari satu insektisida ke lain insektisida dalam kelompok senyawa kimia yang sama menghasilkan perubahan sangat sedikit jika efek bahan kimia, dan juga mekanisme kekebalan, adalah sama pada setiap kasus. Dengan menggunakan teknik pemetaan gen standar, peneliti telah menentukan lokasi lokus resistensi pada genom blowfly. Kita dapat menyimpulkan bahwa konsekuensi yang tidak terhindari dari penggunaan insektisida secara luas adalah bahwa serangga menjadi resisten.
2. Resistensi terhadap anthelmintic
Dengan meluasnya penggunaan ini dan benzimidazoles (BZ) lain pada beberapa daerah utama penghasil domba di dunia, resistensi terhadap berbagai bentuk BZ telah menjadi masalah utama. Yang masih lebih buruk, cacing yang resisten terhadap BZ kadang-kadang menunjukkan resistensi terhadap senyawa kimia lain yang digunakan sebagai bahan minuman, termasuk organo-fosfat, salicylanilides, dan substitusi nitrofenol. Para peneliti telah menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, resistensi disebabkan oleh alel tertentu dengan efek cukup besar pada lokus tunggal. Misalnya, sebagian besar variasi resistensi terhadap levamisole pada Trichostrongylus colubriformis disebabkan oleh alel resesif terpaut jenis kelamin.
3. Resistensi terhadap antibiotik
Dalam tahun-tahun setelah penggunaan penicillin secara luas, banyak galur bakteri resisten telah diiolasi. Antibiotik lain diperkenalkan, tapi galur baru yang resisten segera muncul. pemunculan resistensi antibiotik pada bakteri secara cepat dan meluas disebabkan terutama oleh kemampuan bakteri mentransfer gen secara horizontal (antar individu-individu dalam generasi yang sama) juga secara vertikal (antar generasi). Ada tiga metode yang digunakan bakteri untuk mentransfer gen-gen secara horizontal. Ketiga metode itu adalah transformasi (pelepasan DNA dari satu sel, dan direspon oleh sel lain), transduksi (transfer DNA dari satu sel ke sel lainnya oleh bakteriofag), dan konjugasi (transfer DNA dari satu sel ke sel lainnya, mengikuti penggabungan—perkawinan--dari dua sel). Transfer resistensi secara horizontal muncul karena ada sejumlah besar bakteri dalam linkungan eksternal dan internal manusia maupun ternak. Jawaban untuk teka-teki ini muncul setelah penemuan transposon pada pertengahan 1970-an, yang merupakan transposable genetic element (TGE).
D. Pengendalian terhadap Parasit dan Pathogen
Dengan mengilustrasikan adanya kenyataan bahwa parasit dan pathogen menunjukkan variasi genetik yang luas, kita sekarang akan mempertimbangkan beberapa cara yang digunakan manusia dalam upaya mengendalikannya, atau setidaknya memberantasnya.
1. Lalat screw-worm
Ada dua jenis lalat screw worm: lalat Dunia lama (Chrysomya bezziana) dan lalat Dunia Baru (Cochliomyia hominivorax). Keduanya parasit pada hewan berdarah panas. Kombinasi antara SIRM dan pengobatan sapi menghasilkan pembasmian lalat screw-worm dari bagian Tenggara USA pada tahun 1959, hanya dua tahun setelah program SIRM dimulai. Penggunaan SIRM untuk pemberantasan lalat screw-worm, di Amerika Utara dan Libya, dapat dikatakan sebagai satu diantara banyak upaya manusia yang paling berhasil dalam kontrol biologi.
2. Serangga lain
SIRM konvensional meliputi pemeliharaan insekta di laboratorium sampai tahap dewasa (termasuk iradiasi pada tahap pupa), dan pelepasan insekta dewasa dari pesawat atau kendaraan lain. Kombinasi antara kesuburan yang berkurang dan resesif cacat berpotensi untuk mempunyai potensi untuk pengendalian secara biologis terhadap serangga. Hal ini dan kemungkinan lain belum mencapai tahap untuk mengganti SIRM konvensional. Tapi ada peluang bahwa beberapa diantaranya akan terbukti sukses di masa yang akan datang.
3. Cacing
Pada prinsipnya, teknik yang dijelaskan di atas untuk kontrol biologi pada serangga bisa juga diaplikasi pada cacing. Penelitian yang relative kecil telah dilaksanakan di area ini.
Di masa mendatang, peternak harus memberantas cacing setuntas mungkin, melalui drenching. Untungnya, sekarang ada banyak informasi yang tersedia mengenai sejauh mana resistensi silang antar kelas anthelmintic yang berbeda, yang melandasi rekomendasi penentuan waktu dan rotasi drenching, dengan tujuan memperlambat meluasnya resistensi.
4. Bakteri
bakteri memiliki cara efektif memindahkan gen penyandi resistensi terhadap antibiotik secara horizontal dan secara vertikal, dan penggunaan terus-menerus antibiotic secara luas menyebabkan peningkatan yang mengkhawatirkan pada bakteri resisten. Satu tahap yang dapat diambil untuk memudahkan tekanan seleksi untuk bakteri resisten adalah membatasi penggunaan antibiotik, misalnya, dengan melarang penggunaan antibiotik sebagai tambahan (additive) pada pakan ternak
E. Meningkatkan Level Resistensi pada Inang
Selain cara langsung mengendalikan pathogen dan parasit seperti dijelaskan di atas, sangat mungkin menekan beberapa pengaruh tidak langsung terhadap pathogen dan parasit, dengan meningkatkan level resistensi pada inang.
1. Seleksi untuk resistensi pada inang
Cara terbaik untuk memanfaatkan variasi tersebut adalah melakukan seleksi untuk resistensi yang meningkat. Ada sejumlah contoh strategi yang sukses. Namun demikian, ada keterbatasan utama dengan pendekatan ini, yaitu bahwa seluruh populasi secara sengaja diekspose ke pathogen dan parasit. Dalam beberapa kasus, misalnya parasit internal, ini sering terjadi meskipun manusia berupaya maksimal untuk mencegahnya, dimana seleksi untuk resistensi terjadi secara alami. Tapi seleksi buatan untuk resistensi menimbulkan masalah etika
2. Penciri DNA untuk resistensi pada inang
Tantangan besar saat ini adalah mencari penciri DNA untuk resistensi, yaitu polimorfisme DNA yang mudah dideteksi yang terpaut erat ke, atau bagian dari, gen yang berkontribusi pada variasi genetik untuk resistensi. Jika penciri tersebut bisa diidentifikasi, seleksi bisa dilakukan berdasar tes sampel darah (yakni dengan melakukan genotyping ternak pada lokus penciri), tanpa perlu mengekspos ternak ke pathogen atau parasit.
3. Transgenesis
dua cara berbeda bagaimana transgenesis mungkin dapat membuat resistensi pada inang--dengan mengembangkan hewan yang mengekspresikan bagian dari selubung protein pathogen atau enzim yang secara khusus diarahkan melawan parasit. Tidak diragukan lagi, pendekatan transgenik lain untuk resistensi akan dikembangkan. Terlalu cepat untuk mengetahui bagaimana keberhasilan pendekatan ini. Tapi harapan (dan dana) dari banyak orang tergantung pada potensinya untuk menyediakan cara penting untuk memberantas pathogen dan parasit.
4. Implikasi praktis dari interaksi inang-pathogen
mengubah satu sisi (yakni tingkat resistensi pada inang), sisi lain (pathogen atau parasit) secara otomatis dihadapkan pada seleksi alam untuk mengatasi perubahan apapun yang terjadi. Idealnya, perubahan pada inang seharusnya cukup memberikan hambatan pada pathogen atau parasit. Tantangannya adalah menentukan perubahan yang mana pada inang yang sebaiknya diambil untuk menciptakan hambatan tersebut. Arah mana yang diambil, kita sebaiknya jangan merasa puas dengan kekuatan seleksi alam merespon tantangan yang akan diberikan oleh perkembangan dari resistensi yang meningkat pada inang.
I Wayan Suarnata
A. Interaksi Inang-Patogen
Pada bagian ini, kita akan mempertimbangkan tiga contoh yang sangat berbeda mengenai interaksi antara inang dan parasit atau patogen, dengan tujuan memberikan suatu indikasi tentang berbagai cara terjadinya interaksi tersebut.
1. Myxomatosis pada kelinci
Tidak ada usaha yang dilakukan oleh manusia yang berdampak besar pada populasi kelinci sampai CSIRO melepaskan galur virus myxoma yang bersifat virulent ke dalam populasi kelinci pada tahun 1950. Karena belum pernah kemasukan virus, kelinci-kelinci tersebut menjadi sangat rentan; liabilitas terhadap myxomatosis sangat tinggi--hampir 100% kelinci yang terinfeksi mati. Jika tidak ada variasi genetik untuk liabilitas terhadap myxomatosis pada populasi kelinci, seleksi alam yang sangat kuat ini tidak akan berpengaruh. Itu tidak untuk mengatakan bahwa program myxomatosis seharusnya jangan dilakukan oleh CSIRO; justru sebaliknya, program tersebut sangat berhasil dan terus memainkan peranan penting dalam pengendalian populasi kelinci. Interaksi inang–patogen yang dicontohkan oleh kelinci dan virus myxoma merupakan sesuatu yang khas. Sekarang kita akan membahas sebuah contoh tentang interaksi inang–patogen yang juga penting tapi agak kurang khas. Malahan, dalam contoh khusus ini, ada perdebatan mengenai seluk-beluk patogen.
2. Penyakit prion
Ada sekelompok penyakit yang disebut spongioform encephalopathies, yang merupakan penyakit neurologis fatal yang telah diketahui selama beberapa tahun pada domba dan kambing (penyakit ini disebut scrapie), dan pada manusia (disebut penyakit kuru, penyakit Creutzfeldt-Jacob, dan sindrom Gerstmann-Straussler–Scheinker). Namun demikian, tampaknya penyebab penyakit tersebut adalah suatu bentuk termodifikasi dari protein yang disandi oleh gen di dalam inang. Nama yang diberikan pada partikel protein yang menginfeksi ini adalah prion.
Gen inang tersebut dinamakan gen protein prion (PrP), yang adalah bagian normal dari genom mamalia dan ayam. Contoh menarik dan tidak biasa mengenai interaksi inang-patogen ini telah membingungkan para ilmuwan selama beberapa dekade, tapi pada tahun 1986 penyakit prion menjadi issue kesehatan publik internasional ketika sapi di Inggris memunculkan penyakit baru yang disebut bovine spongioform encephalopathy (BSE atau penyakit sapi gila). Diduga penyebab penyakit baru ini adalah pindahnya agen scrapie dari domba ke sapi, melalui pemberian pakan kotoran domba kepada sapi. Meskipun agen scrapie menyebabkan kematian pada sapi, tetapi tampaknya tidak bersifat infeksi pada sapi, dan tidak juga mampu pindah dari sapi ke spesies lain sehingga tidak terinfeksi.
3. African trypanosomiasis
African trypanosomiasis adalah penyaki ternak terpenting dari semua penyakit ternak di Afrika. Penyakit ini membunuh ribuan ternak setiap tahunnya, dan menurunkan produksi ratusan ribu sapi lain yang menderita infeksi kronis. Ciri paling menarik dari infeksi tripanosoma adalah bahwa infeksi ini ditandai oleh fluktuasi jumlah tripanosoma pada inang yang terinfeksi, yang berkisar antara nol sampai kira-kira 1.500/ml darah. Alasan fluktuasi tersebut merupakan suatu fenomena yang disebut variasi antigen, yaitu terjadinya sekuens varian antigen yang berbeda yang semuanya timbul dari populasi pathogen tunggal yang awalnya memasuki inang. Genom tripanosoma mengandung lebih dari 100 gen yang masing-masing menyandi jenis antigen berbeda. Fenomena variasi antigen adalah contoh penting mengenai interaksi inang-patogen. Dan itu berlaku untuk semua karena interkasi ini terjadi tidak hanya pada tripanosoma tapi juga pada protozoa lain termasuk anggota genus Plasmodium, yang menyebabkan malaria, dan genus Babesia, yang menyebabkan babbesiosus atau tick fever, suatu penyakit penting pada sapi yang telah disebutkan dalam Bab 8.
B. Resistensi pada Inang
Di antara beberapa contoh yang dicatat adalah variasi genetik untuk resistensi terhadap bakteri, virus, dan protozoa pada ayam; untuk resistensi terhadap bakteri pada kalkun; untuk resistensi terhadap bakteri, virus, dan protozoa pada ikan; untuk resistensi terhadap serangga (serangga lalat), bakteri(sakit pada kulit, sakit pada kaki), nematoda, dan bermacam-macam virus pada domba; untuk resistensi terhadap bakteri (athropic rhinitis dan scours) pada babi; dan untuk resistensi terhadap arthropoda (cattle tick, horn fly, stable fly), nematoda, tripanosoma, dan bakteri (mastitis) pada sapi.
1. Resistensi terhadap neonatal scours pada babi
penyebab utama neonatal scours pada babi adalah galur E. coli yang mempunyai antigen pada permukaan sel yang disebut K88. Tapi tidak semua anak babi rentan terhadap E. Coli K88. Secara khusus, hanya anak-anak babi dengan reseptor K88 pada dinding ususnya yang menjadi rentan; anak babi yang tidak punya reseptor akan resisten.
2. Penyakit Marek pada ayam adalah penyakit neoplastik dimana terjadinya pertumbuhan dari sel-sel tumor disebabkan oleh virus DNA. Ketika populasi galur ayam kontrol yang diternakkan secara acak diseleksi untuk sifat resistensi terhadap penyakit Marek, kematian akibat penyakit ini menurun secara dramatis dari sekitar 50% ke kurang dari 10% hanya dalam empat generasi. seleksi telah menghasilkan perubahan besar dalam liabilitas terhadap penyakit Marek.
C. Resistensi terhadap Parasit dan Patogen
1. Resistensi terhadap insektisida pada blowfly domba
Blowfly domba Australia, Lucilia cuprina, adalah penyebab utama hilangnya pendapatan industri wul di Australia, melalui kerusakan yang dilakukan oleh larva terhadap domba hidup, dan berakibat hilangnya produksi wul dan kematian domba. Upaya manusia untuk mengendalikan blowfly sampai saat ini terfokus terutama pada penyemprotan (jetting) dengan insektisida. Penggunaan insektisida segera menimbulkan respon yang dapat diduga pada blowfly. Sekarang telah diketahui bahwa blowflies menjadi resisten pada setiap bahan kimia karena seleksi alam yang sangat kuat memilih alel untuk resistensi pada satu atau lebih lokus pada blowfly. Mengubah dari satu insektisida ke lain insektisida dalam kelompok senyawa kimia yang sama menghasilkan perubahan sangat sedikit jika efek bahan kimia, dan juga mekanisme kekebalan, adalah sama pada setiap kasus. Dengan menggunakan teknik pemetaan gen standar, peneliti telah menentukan lokasi lokus resistensi pada genom blowfly. Kita dapat menyimpulkan bahwa konsekuensi yang tidak terhindari dari penggunaan insektisida secara luas adalah bahwa serangga menjadi resisten.
2. Resistensi terhadap anthelmintic
Dengan meluasnya penggunaan ini dan benzimidazoles (BZ) lain pada beberapa daerah utama penghasil domba di dunia, resistensi terhadap berbagai bentuk BZ telah menjadi masalah utama. Yang masih lebih buruk, cacing yang resisten terhadap BZ kadang-kadang menunjukkan resistensi terhadap senyawa kimia lain yang digunakan sebagai bahan minuman, termasuk organo-fosfat, salicylanilides, dan substitusi nitrofenol. Para peneliti telah menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, resistensi disebabkan oleh alel tertentu dengan efek cukup besar pada lokus tunggal. Misalnya, sebagian besar variasi resistensi terhadap levamisole pada Trichostrongylus colubriformis disebabkan oleh alel resesif terpaut jenis kelamin.
3. Resistensi terhadap antibiotik
Dalam tahun-tahun setelah penggunaan penicillin secara luas, banyak galur bakteri resisten telah diiolasi. Antibiotik lain diperkenalkan, tapi galur baru yang resisten segera muncul. pemunculan resistensi antibiotik pada bakteri secara cepat dan meluas disebabkan terutama oleh kemampuan bakteri mentransfer gen secara horizontal (antar individu-individu dalam generasi yang sama) juga secara vertikal (antar generasi). Ada tiga metode yang digunakan bakteri untuk mentransfer gen-gen secara horizontal. Ketiga metode itu adalah transformasi (pelepasan DNA dari satu sel, dan direspon oleh sel lain), transduksi (transfer DNA dari satu sel ke sel lainnya oleh bakteriofag), dan konjugasi (transfer DNA dari satu sel ke sel lainnya, mengikuti penggabungan—perkawinan--dari dua sel). Transfer resistensi secara horizontal muncul karena ada sejumlah besar bakteri dalam linkungan eksternal dan internal manusia maupun ternak. Jawaban untuk teka-teki ini muncul setelah penemuan transposon pada pertengahan 1970-an, yang merupakan transposable genetic element (TGE).
D. Pengendalian terhadap Parasit dan Pathogen
Dengan mengilustrasikan adanya kenyataan bahwa parasit dan pathogen menunjukkan variasi genetik yang luas, kita sekarang akan mempertimbangkan beberapa cara yang digunakan manusia dalam upaya mengendalikannya, atau setidaknya memberantasnya.
1. Lalat screw-worm
Ada dua jenis lalat screw worm: lalat Dunia lama (Chrysomya bezziana) dan lalat Dunia Baru (Cochliomyia hominivorax). Keduanya parasit pada hewan berdarah panas. Kombinasi antara SIRM dan pengobatan sapi menghasilkan pembasmian lalat screw-worm dari bagian Tenggara USA pada tahun 1959, hanya dua tahun setelah program SIRM dimulai. Penggunaan SIRM untuk pemberantasan lalat screw-worm, di Amerika Utara dan Libya, dapat dikatakan sebagai satu diantara banyak upaya manusia yang paling berhasil dalam kontrol biologi.
2. Serangga lain
SIRM konvensional meliputi pemeliharaan insekta di laboratorium sampai tahap dewasa (termasuk iradiasi pada tahap pupa), dan pelepasan insekta dewasa dari pesawat atau kendaraan lain. Kombinasi antara kesuburan yang berkurang dan resesif cacat berpotensi untuk mempunyai potensi untuk pengendalian secara biologis terhadap serangga. Hal ini dan kemungkinan lain belum mencapai tahap untuk mengganti SIRM konvensional. Tapi ada peluang bahwa beberapa diantaranya akan terbukti sukses di masa yang akan datang.
3. Cacing
Pada prinsipnya, teknik yang dijelaskan di atas untuk kontrol biologi pada serangga bisa juga diaplikasi pada cacing. Penelitian yang relative kecil telah dilaksanakan di area ini.
Di masa mendatang, peternak harus memberantas cacing setuntas mungkin, melalui drenching. Untungnya, sekarang ada banyak informasi yang tersedia mengenai sejauh mana resistensi silang antar kelas anthelmintic yang berbeda, yang melandasi rekomendasi penentuan waktu dan rotasi drenching, dengan tujuan memperlambat meluasnya resistensi.
4. Bakteri
bakteri memiliki cara efektif memindahkan gen penyandi resistensi terhadap antibiotik secara horizontal dan secara vertikal, dan penggunaan terus-menerus antibiotic secara luas menyebabkan peningkatan yang mengkhawatirkan pada bakteri resisten. Satu tahap yang dapat diambil untuk memudahkan tekanan seleksi untuk bakteri resisten adalah membatasi penggunaan antibiotik, misalnya, dengan melarang penggunaan antibiotik sebagai tambahan (additive) pada pakan ternak
E. Meningkatkan Level Resistensi pada Inang
Selain cara langsung mengendalikan pathogen dan parasit seperti dijelaskan di atas, sangat mungkin menekan beberapa pengaruh tidak langsung terhadap pathogen dan parasit, dengan meningkatkan level resistensi pada inang.
1. Seleksi untuk resistensi pada inang
Cara terbaik untuk memanfaatkan variasi tersebut adalah melakukan seleksi untuk resistensi yang meningkat. Ada sejumlah contoh strategi yang sukses. Namun demikian, ada keterbatasan utama dengan pendekatan ini, yaitu bahwa seluruh populasi secara sengaja diekspose ke pathogen dan parasit. Dalam beberapa kasus, misalnya parasit internal, ini sering terjadi meskipun manusia berupaya maksimal untuk mencegahnya, dimana seleksi untuk resistensi terjadi secara alami. Tapi seleksi buatan untuk resistensi menimbulkan masalah etika
2. Penciri DNA untuk resistensi pada inang
Tantangan besar saat ini adalah mencari penciri DNA untuk resistensi, yaitu polimorfisme DNA yang mudah dideteksi yang terpaut erat ke, atau bagian dari, gen yang berkontribusi pada variasi genetik untuk resistensi. Jika penciri tersebut bisa diidentifikasi, seleksi bisa dilakukan berdasar tes sampel darah (yakni dengan melakukan genotyping ternak pada lokus penciri), tanpa perlu mengekspos ternak ke pathogen atau parasit.
3. Transgenesis
dua cara berbeda bagaimana transgenesis mungkin dapat membuat resistensi pada inang--dengan mengembangkan hewan yang mengekspresikan bagian dari selubung protein pathogen atau enzim yang secara khusus diarahkan melawan parasit. Tidak diragukan lagi, pendekatan transgenik lain untuk resistensi akan dikembangkan. Terlalu cepat untuk mengetahui bagaimana keberhasilan pendekatan ini. Tapi harapan (dan dana) dari banyak orang tergantung pada potensinya untuk menyediakan cara penting untuk memberantas pathogen dan parasit.
4. Implikasi praktis dari interaksi inang-pathogen
mengubah satu sisi (yakni tingkat resistensi pada inang), sisi lain (pathogen atau parasit) secara otomatis dihadapkan pada seleksi alam untuk mengatasi perubahan apapun yang terjadi. Idealnya, perubahan pada inang seharusnya cukup memberikan hambatan pada pathogen atau parasit. Tantangannya adalah menentukan perubahan yang mana pada inang yang sebaiknya diambil untuk menciptakan hambatan tersebut. Arah mana yang diambil, kita sebaiknya jangan merasa puas dengan kekuatan seleksi alam merespon tantangan yang akan diberikan oleh perkembangan dari resistensi yang meningkat pada inang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar