Jumat, 09 Januari 2015

7 alasan mengapa minum soda tidak disarankan

Soda dengan rasanya yang manis dan segar di tenggorokan menjadi minuman favorit untuk semua kalangan usia. Namun sayangnya, mengonsumsi soda terlalu banyak justru bisa merusak tubuh dan membuat Anda gemuk. Masih menjadikan minuman ringan ini favorit Anda? Sebaiknya simak dulu tujuh alasannya mengapa Anda harus berhenti minum soda, seperti dikutip dari situs All Women Stalk.
1. Mengandung Banyak Bahan Kimia Jika Anda sedang diet dan berpikiran soda diet lebih baik daripada soda biasa, pikir lagi. Tidak jauh berbeda dengan soda biasa, soda diet juga mengandung pemanis buatan yang bisa memicu kanker jika dikonsumsi berlebihan. 2. Tak Ada Kalori Alasan lainnya untuk berhenti minum soda adalah kandungan didalamnya. Periksa label soda dan Anda akan melihat kandungannya sarat dengan pemanis. Namun bukan gula sebenarnya yang digunakan di sini tapi yang berasal dari sirup jagung fruktosa yang tinggi, dimana tubuh kita akan memprosesnya secara berbeda dari gula yang lain. Daripada soda, lebih baik Anda mengganti minuman ringan Anda dengan jus dari gula alami yang lebih bernutrisi.
3. Mempengaruhi Tulang Sebuah penelitian dari Pusat Penelitian Osteoporosis Universitas Creighton pada tahun 2001 menyebutkan, mereka yang minum soda memiliki tulang yang lebih lemah. Hal ini dikarenakan bahan kimia dari soda bisa mengeluarkan kalsium yang harusnya diserap tubuh.
4. Kafein Minuman bersoda mengandung kafein. Bagi sebagian orang, kafein adalah sebuah kebutuhan untuk membantu Anda terjaga dan lebih segar. Tapi bagi orang lainnya, dapat menyebabkan masalah seperti insomnia, kecemasan, masalah perut, dan detak jantung yang tidak teratur.
5. Membuat Kecanduan Kandungan gula dan kafein yang ada dalam soda berpotensi menjadi zat adiktif. Ketika Anda memutuskan berhenti dari kebiasaan minum soda ini, gejala-gejala seperti kegelisahan, ngidam, dan sakit kepala mungkin terjadi pada sebagian orang.
6. Kerusakan Gigi Soda mengandung gula yang tinggi dan juga asam yang bisa merusak gigi. Bakteri alami dalam mulut akan mengeluarkan asam yang memperlemah email gigi yang memicu kerusakan. Bahkan dokter gigi pun setuju bahwa terlalu banyak minum soda adalah penyebab terbesar kerusakan gigi terutama pada anak-anak.
7. Merusak Sistem Kekebalan Tubuh Gula buatan dalam soda dapat melemahkan sistem imun Anda bahkan sampai lima jam setelah Anda meminumnya, sehingga membuat Anda lebih rentan terhadap kuman.

Sumber : - See more at: http://beliberi.co.id/artikel/7-alasan-anda-harus-berhenti-minum-soda#sthash.TAmoT7ue.dpuf

Kamis, 12 Desember 2013

Parasit-Inang-Patogen

                                                                                   oleh :
                                                                       I Wayan Suarnata
A.    Interaksi Inang-Patogen
      Pada bagian ini, kita akan mempertimbangkan tiga contoh yang sangat berbeda mengenai interaksi antara inang dan parasit atau patogen, dengan tujuan memberikan suatu indikasi tentang berbagai cara terjadinya interaksi tersebut.
1.    Myxomatosis pada kelinci
         Tidak ada usaha yang dilakukan oleh manusia yang berdampak besar pada populasi kelinci sampai CSIRO melepaskan galur virus myxoma yang bersifat virulent ke dalam populasi kelinci pada tahun 1950. Karena belum pernah kemasukan virus, kelinci-kelinci tersebut menjadi sangat rentan; liabilitas terhadap myxomatosis sangat tinggi--hampir 100% kelinci yang terinfeksi mati. Jika tidak ada variasi genetik untuk liabilitas terhadap myxomatosis pada populasi kelinci, seleksi alam yang sangat kuat ini tidak akan berpengaruh. Itu tidak untuk mengatakan bahwa program myxomatosis seharusnya jangan dilakukan oleh CSIRO; justru sebaliknya, program tersebut sangat berhasil dan terus memainkan peranan penting dalam pengendalian populasi kelinci. Interaksi inang–patogen yang dicontohkan oleh kelinci dan virus myxoma merupakan sesuatu yang khas. Sekarang kita akan membahas sebuah contoh tentang interaksi inang–patogen yang juga penting tapi agak kurang khas. Malahan, dalam contoh khusus ini, ada perdebatan mengenai seluk-beluk patogen.
2.    Penyakit prion
       Ada sekelompok penyakit yang disebut spongioform encephalopathies, yang merupakan penyakit neurologis fatal yang telah diketahui selama beberapa tahun pada domba dan kambing (penyakit ini disebut scrapie), dan pada manusia (disebut penyakit kuru, penyakit Creutzfeldt-Jacob, dan sindrom Gerstmann-Straussler–Scheinker). Namun demikian, tampaknya penyebab penyakit tersebut adalah suatu bentuk termodifikasi dari protein yang disandi oleh gen di dalam inang. Nama yang diberikan pada partikel protein yang menginfeksi ini adalah prion.
        Gen inang tersebut dinamakan gen protein prion (PrP), yang adalah bagian normal dari genom mamalia dan ayam. Contoh menarik dan tidak biasa mengenai interaksi inang-patogen ini telah membingungkan para ilmuwan selama beberapa dekade, tapi pada tahun 1986 penyakit prion menjadi issue kesehatan publik internasional ketika sapi di Inggris memunculkan penyakit baru yang disebut bovine spongioform encephalopathy (BSE atau penyakit sapi gila). Diduga penyebab penyakit baru ini adalah pindahnya agen scrapie dari domba ke sapi, melalui pemberian pakan kotoran domba kepada sapi. Meskipun agen scrapie menyebabkan kematian pada sapi, tetapi tampaknya tidak bersifat infeksi pada sapi, dan tidak juga mampu pindah dari sapi ke spesies lain sehingga tidak terinfeksi.
3.    African trypanosomiasis
      African trypanosomiasis adalah penyaki ternak terpenting dari semua penyakit ternak di Afrika. Penyakit ini membunuh ribuan ternak setiap tahunnya, dan menurunkan produksi ratusan ribu sapi lain yang menderita infeksi kronis. Ciri paling menarik dari infeksi tripanosoma adalah bahwa infeksi ini ditandai oleh fluktuasi jumlah tripanosoma pada inang yang terinfeksi, yang berkisar antara nol sampai kira-kira 1.500/ml darah. Alasan fluktuasi tersebut merupakan suatu fenomena yang disebut variasi antigen, yaitu terjadinya sekuens varian antigen yang berbeda yang semuanya timbul dari populasi pathogen tunggal yang awalnya memasuki inang. Genom tripanosoma mengandung lebih dari 100 gen yang masing-masing menyandi jenis antigen berbeda. Fenomena variasi antigen adalah contoh penting mengenai interaksi inang-patogen. Dan itu berlaku untuk semua karena interkasi ini terjadi tidak hanya pada tripanosoma tapi juga pada protozoa lain termasuk anggota genus Plasmodium, yang menyebabkan malaria, dan genus Babesia, yang menyebabkan babbesiosus atau tick fever, suatu penyakit penting pada sapi yang telah disebutkan dalam Bab 8.
B.    Resistensi pada Inang
      Di antara beberapa contoh yang dicatat adalah variasi genetik untuk resistensi terhadap bakteri, virus, dan protozoa pada ayam; untuk resistensi terhadap bakteri pada kalkun; untuk resistensi terhadap bakteri, virus, dan protozoa pada ikan; untuk resistensi terhadap serangga (serangga lalat), bakteri(sakit pada kulit, sakit pada kaki), nematoda, dan bermacam-macam virus pada domba; untuk resistensi terhadap bakteri (athropic rhinitis dan scours) pada babi; dan untuk resistensi terhadap arthropoda (cattle tick, horn fly, stable fly), nematoda, tripanosoma, dan bakteri (mastitis) pada sapi.
1.    Resistensi terhadap neonatal scours pada babi
      penyebab utama neonatal scours pada babi adalah galur E. coli yang mempunyai antigen pada permukaan sel yang disebut K88. Tapi tidak semua anak babi rentan terhadap E. Coli K88. Secara khusus, hanya anak-anak babi dengan reseptor K88 pada dinding ususnya yang menjadi rentan; anak babi yang tidak punya reseptor akan resisten.
2.    Penyakit Marek pada ayam adalah penyakit neoplastik dimana terjadinya pertumbuhan dari sel-sel tumor disebabkan oleh virus DNA. Ketika populasi galur ayam kontrol yang diternakkan secara acak diseleksi untuk sifat resistensi terhadap penyakit Marek, kematian akibat penyakit ini menurun secara dramatis dari sekitar 50% ke kurang dari 10% hanya dalam empat generasi. seleksi telah menghasilkan perubahan besar dalam liabilitas terhadap penyakit Marek.
C.    Resistensi terhadap Parasit dan Patogen
1.    Resistensi terhadap insektisida pada blowfly domba
       Blowfly domba Australia, Lucilia cuprina, adalah penyebab utama hilangnya pendapatan industri wul di Australia, melalui kerusakan yang dilakukan oleh larva terhadap domba hidup, dan berakibat hilangnya produksi wul dan kematian domba. Upaya manusia untuk mengendalikan blowfly sampai saat ini terfokus terutama pada penyemprotan (jetting) dengan insektisida. Penggunaan insektisida segera menimbulkan respon yang dapat diduga pada blowfly. Sekarang telah diketahui bahwa blowflies menjadi resisten pada setiap bahan kimia karena seleksi alam yang sangat kuat memilih alel untuk resistensi pada satu atau lebih lokus pada blowfly. Mengubah dari satu insektisida ke lain insektisida dalam kelompok senyawa kimia yang sama menghasilkan perubahan sangat sedikit jika efek bahan kimia, dan juga mekanisme kekebalan, adalah sama pada setiap kasus. Dengan menggunakan teknik pemetaan gen standar, peneliti telah menentukan lokasi lokus resistensi pada genom blowfly. Kita dapat menyimpulkan bahwa konsekuensi yang tidak terhindari dari penggunaan insektisida secara luas adalah bahwa serangga menjadi resisten.
2.    Resistensi terhadap anthelmintic
       Dengan meluasnya penggunaan ini dan benzimidazoles (BZ) lain pada beberapa daerah utama penghasil domba di dunia, resistensi terhadap berbagai bentuk BZ telah menjadi masalah utama. Yang masih lebih buruk, cacing yang resisten terhadap BZ kadang-kadang menunjukkan resistensi terhadap senyawa kimia lain yang digunakan sebagai bahan minuman, termasuk organo-fosfat, salicylanilides, dan substitusi nitrofenol. Para peneliti telah menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, resistensi disebabkan oleh alel tertentu dengan efek cukup besar pada lokus tunggal. Misalnya, sebagian besar variasi resistensi terhadap levamisole pada Trichostrongylus colubriformis disebabkan oleh alel resesif terpaut jenis kelamin.
3.    Resistensi terhadap antibiotik
     Dalam tahun-tahun setelah penggunaan penicillin secara luas, banyak galur bakteri resisten telah diiolasi. Antibiotik lain diperkenalkan, tapi galur baru yang resisten segera muncul. pemunculan resistensi antibiotik pada bakteri secara cepat dan meluas disebabkan terutama oleh kemampuan bakteri mentransfer gen secara horizontal (antar individu-individu dalam generasi yang sama) juga secara vertikal (antar generasi). Ada tiga metode yang digunakan bakteri untuk mentransfer gen-gen secara horizontal. Ketiga metode itu adalah transformasi (pelepasan DNA dari satu sel, dan direspon oleh sel lain), transduksi (transfer DNA dari satu sel ke sel lainnya oleh bakteriofag), dan konjugasi (transfer DNA dari satu sel ke sel lainnya, mengikuti penggabungan—perkawinan--dari dua sel). Transfer resistensi secara horizontal muncul karena ada sejumlah besar bakteri dalam linkungan eksternal dan internal manusia maupun ternak. Jawaban untuk teka-teki ini muncul setelah penemuan transposon pada pertengahan 1970-an, yang merupakan transposable genetic element (TGE).
D.    Pengendalian terhadap Parasit dan Pathogen
     Dengan mengilustrasikan adanya kenyataan bahwa parasit dan pathogen menunjukkan variasi genetik yang luas, kita sekarang akan mempertimbangkan beberapa cara yang digunakan manusia dalam upaya mengendalikannya, atau setidaknya memberantasnya.
1.    Lalat screw-worm
Ada dua jenis lalat screw worm: lalat Dunia lama (Chrysomya bezziana) dan lalat Dunia Baru (Cochliomyia hominivorax). Keduanya parasit pada hewan berdarah panas. Kombinasi antara SIRM dan pengobatan sapi menghasilkan pembasmian lalat screw-worm dari bagian Tenggara USA pada tahun 1959, hanya dua tahun setelah program SIRM dimulai. Penggunaan SIRM untuk pemberantasan lalat screw-worm, di Amerika Utara dan Libya, dapat dikatakan sebagai satu diantara banyak upaya manusia yang paling berhasil dalam kontrol biologi.
2.    Serangga lain
SIRM konvensional meliputi pemeliharaan insekta di laboratorium sampai tahap dewasa (termasuk iradiasi pada tahap pupa), dan pelepasan insekta dewasa dari pesawat atau kendaraan lain. Kombinasi antara kesuburan yang berkurang dan resesif cacat berpotensi untuk mempunyai potensi untuk pengendalian secara biologis terhadap serangga. Hal ini dan kemungkinan lain belum mencapai tahap untuk mengganti SIRM konvensional. Tapi ada peluang bahwa beberapa diantaranya akan terbukti sukses di masa yang akan datang.
3.    Cacing
Pada prinsipnya, teknik yang dijelaskan di atas untuk kontrol biologi pada serangga bisa juga diaplikasi pada cacing. Penelitian yang relative kecil telah dilaksanakan di area ini.
Di masa mendatang, peternak harus memberantas cacing setuntas mungkin, melalui drenching. Untungnya, sekarang ada banyak informasi yang tersedia mengenai sejauh mana resistensi silang antar kelas anthelmintic yang berbeda, yang melandasi rekomendasi penentuan waktu dan rotasi drenching, dengan tujuan memperlambat meluasnya resistensi.
4.    Bakteri
bakteri memiliki cara efektif memindahkan gen penyandi resistensi terhadap antibiotik secara horizontal dan secara vertikal, dan penggunaan terus-menerus antibiotic secara luas menyebabkan peningkatan yang mengkhawatirkan pada bakteri resisten. Satu tahap yang dapat diambil untuk memudahkan tekanan seleksi untuk bakteri resisten adalah membatasi penggunaan antibiotik, misalnya, dengan melarang penggunaan antibiotik sebagai tambahan (additive) pada pakan ternak
E.    Meningkatkan Level Resistensi pada Inang
Selain cara langsung mengendalikan pathogen dan parasit seperti dijelaskan di atas, sangat mungkin menekan beberapa pengaruh tidak langsung terhadap pathogen dan parasit, dengan meningkatkan level resistensi pada inang.
1.    Seleksi untuk resistensi pada inang
Cara terbaik untuk memanfaatkan variasi tersebut adalah melakukan seleksi untuk resistensi yang meningkat. Ada sejumlah contoh strategi yang sukses. Namun demikian, ada keterbatasan utama dengan pendekatan ini, yaitu bahwa seluruh populasi secara sengaja diekspose ke pathogen dan parasit. Dalam beberapa kasus, misalnya parasit internal, ini sering terjadi meskipun manusia berupaya maksimal untuk mencegahnya, dimana seleksi untuk resistensi terjadi secara alami. Tapi seleksi buatan untuk resistensi menimbulkan masalah etika
2.    Penciri DNA untuk resistensi pada inang
Tantangan besar saat ini adalah mencari penciri DNA untuk resistensi, yaitu polimorfisme DNA yang mudah dideteksi yang terpaut erat ke, atau bagian dari, gen yang berkontribusi pada variasi genetik untuk resistensi. Jika penciri tersebut bisa diidentifikasi, seleksi bisa dilakukan berdasar tes sampel darah (yakni dengan melakukan genotyping ternak pada lokus penciri), tanpa perlu mengekspos ternak ke pathogen atau parasit.
3.    Transgenesis
dua cara berbeda bagaimana transgenesis mungkin dapat membuat resistensi pada inang--dengan mengembangkan hewan yang mengekspresikan bagian dari selubung protein pathogen atau enzim yang secara khusus diarahkan melawan parasit. Tidak diragukan lagi, pendekatan transgenik lain untuk resistensi akan dikembangkan. Terlalu cepat untuk mengetahui bagaimana keberhasilan pendekatan ini. Tapi harapan (dan dana) dari banyak orang tergantung pada potensinya untuk menyediakan cara penting untuk memberantas pathogen dan parasit.
4.    Implikasi praktis dari interaksi inang-pathogen
mengubah satu sisi (yakni tingkat resistensi pada inang), sisi lain (pathogen atau parasit) secara otomatis dihadapkan pada seleksi alam untuk mengatasi perubahan apapun yang terjadi. Idealnya, perubahan pada inang seharusnya cukup memberikan hambatan pada pathogen atau parasit. Tantangannya adalah menentukan perubahan yang mana pada inang yang sebaiknya diambil untuk menciptakan hambatan tersebut. Arah mana yang diambil, kita sebaiknya jangan merasa puas dengan kekuatan seleksi alam merespon tantangan yang akan diberikan oleh perkembangan dari resistensi yang meningkat pada inang.

Obat Antibiotik

DISUSUN OLEH :
I WAYAN SUARNATA

                                                                          BAB I
                                                                  PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
       Farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk seorang dokter ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit. Dalam ilmu farmakologi sering ditemukan istilah farmakodinamik dan farmakokinetik. Pengertian farmakodinamik dalam ilmu farmakologi sebenarnya memiliki hubungan yang cukup erat dengan farmakokinetik. Jika farmakokinetik lebih fokus kepada perjalanan obat-obatan di dalam tubuh maka farmakodinamik lebih fokus membahas dan mempelajari seputar efek obat-obatan itu sendiri di dalam tubuh baik dari segi fisiologi maupun biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerja obat-obatan itu sendiri di dalam tubuh manusia.
        Dalam kehidupan sehari-hari baik pada manusia maupun hewan istilah antibiotik sudah tidak asing untuk didengerkan. Antiboitik ialah zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama fungi, yang dapat menghambat pertumbuhan atau membasmi mikroba jenis lain. Antibiotik juga dapat dibuat secara sintesis. Antimikroba diartikan sebagai obat pembasmi mikroba khususnya yang merugikan manusia. Antibiotik memiliki banyak golongan dan jenis yang beranekaragam. Obat antibiotik ini dapat digunakan baik dalam tubuh hewan maupun dalam tubuh manusia. Dalam prosesnya di dalam tubuh obat ini nantinya akan memberikan suatu efek ( farmakodinamik) terhadap tubuh. Penggunaan Obat ini tidak selalu menguntukan tetapi juga bisa merugikan, untuk itu sebelum menkonsumsi obat ini sebaiknya memperhatikan instruksi dari obat tersebut.
1.2    Rumusan Masalah
        Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah pada penulisan ini adalah sebagai berikut.
1.2.1    Apakah yang dimaksud dengan farmakodinamik pada ilmu farmakologi?
1.2.2    Apa yang dimaksud dengan obat antibiotik?
1.2.3    Bagaimana proses pembuatan obat antibiotik?
1.2.4    Bagaimana mekanisme kerja obat antibiotik dalam tubuh?
1.2.5    Apa saja golongan obat antibiotik dan bagaimana efeknya?
1.2.6     Bagaimanakah penggunaan obat antibiotik terhadap manusia?
1.2.7    Bagaimanakah penggunaan obat antibiotik terhadap hewan ternak?
1.3    Tujuan
          Berdasakan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah sebagi berikut.
1.3.1    Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan farmakodinamik pada ilmu farmakologi.
1.3.2    Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan obat antibiotik.
1.3.3    Dapat mengetahui proses pembuatan obat antibiotik.
1.3.4    Dapat mengetahui mekanisme kerja obat antibiotik dalam tubuh.
1.3.5    Dapat mengetahui golongan obat antibiotik dan efek yang ditimbulkan.
1.3.6     Dapat mengetahui penggunaan obat antibiotik terhadap manusia.
1.3.7    Dapat mengetahui penggunaan obat antibiotik terhadap hewan ternak.

                                                                     
                                                                                  BAB II
                                                                      TINJAUAN PUSTAKA
1.1    Pengertian Farmakodinamik
          Farmakologi merupakan suatu studi tentang obat dan pengaruhnya terhadap manusia (lehne, 1988 dalam Kuntarti). Dalam farmakologi dikenal dengan istilah farmakokinetik dan farmakodinamik. Pengertian farmakodinamik dalam ilmu farmakologi sebenarnya memiliki hubungan yang cukup erat dengan farmakokinetik. Jika farmakokinetik lebih fokus kepada perjalanan obat-obatan di dalam tubuh maka farmakodinamik lebih fokus membahas dan mempelajari seputar efek obat-obatan itu sendiri di dalam tubuh baik dari segi fisiologi maupun biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerja obat-obatan itu sendiri di dalam tubuh manusia. Farmakokinetik merupakan bagian ilmu farmakologi yang cenderung mempelajari tentang nasib dan perjalanan obat didalam tubuh dari obat itu diminum hingga mencapai tempat kerja obat itu. Sedangkan  farmakodinamik ini merupakan bagian ilmu farmakologi yang mempelajari efek fisiologik dan biokimiawi obat terhadap berbagai jaringan tubuh yang sakit maupun sehat serta mekanisme kerjanya (Wattimena, J.V.R., Nelly, Sugiarso, M., Mathalda, B.,Widianto, 1991). Farmakodinamik juga sering disebut dengan aksi atau efek obat. Efek Obat merupakan reaksi fisiologis atau biokimia tubuh karena obat, misalnya suhu turun, tekanan darah turun, kadar gula darah turun serta mekanisme kerja obat-obatan itu sendiri di dalam tubuh manusia (Evelyn R. Hayes. 1996).
           Kerja obat dapat dibagi menjadi onset (mulai kerja) merupakan waktu yang diperlukan oleh obat untuk menimbulkan efek terapi atau efek penyembuhan atau waktu yang diperlukan obat untuk mencapai maksimum terapi, Peak (puncak), duration (lama kerja) merupakan lamanya obat menimbulkan efek terapi, dan waktu paruh. Mekanisme kerja obat dipengaruhi oleh reseptor, enzim, dan hormon. Sifat kerja obat tersebut menentukan kelompok tempat obat tersebut digolongkan dan sering kali mempunyai peran penting untuk memutuskan apakah kelompok tersebut adalah terapi yang tepat untuk gejala atau penyakit tertentu. Mekanisme kerja efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut.
        Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional yang mencakup dua fungsi penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat tertentu, juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsic tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonit binding site) disebut antagonis (Ganiswara.et.al.1995).
          Interaksi antara molekul dengan suatu reseptor pada sel organ tubuh diikuti dengan terjadinya reaksi rantai biokimiawi yang akhirnya menimbulkan perubahan fungsi organ tertentu. Perubahan yang terlihat atau terasa disebut efek obat. Efek O + R OR O: molekul obat. R: reseptor. OR: kompleks obat-reseptor. Reseptor terdapat pada sel, baik permukaan sel (dominan) maupun di dalam sel (reseptor untuk obat-obat steroid). Sebelum terjadi efek, terlebih dahulu terjadi reaksi biokimiawi di dalam sel. Umumnya penggolongan obat berdasarkan pada efek yang ditimbulkannya  ( Joyce L. Kee. 1986).
2.2    Pengertian Obat Antibiotik
       Antibiotik adalah suatu zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama fungi, yang dapat menghambat pertumbuhan atau membasmi jenis mikroba lain. Antibiotika berasal dari bahasa latin yaitu  anti yang artinya  lawan dan  bios yang artinya hidup, berarti antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan mikroorganisme hidup tertuama fungi dan bakteri ranah, yang memiliki kahsiat mematikan atau mengahambat pertumbuahan banyak bakteri dan beberapa virus besar, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relative kecil (Agoes, A. 1990).
2.3    Pembuatan Antibiotik
         Pembuatan antibiotik lazimnya dilakukan dengan jalan mikrobiologi dimana mikroorganisme dibiakan dalam tangki-tangki besar dengan zat-zat gizi khusus. Kedalam cairan pembiakan disalurkan oksigen atau udara steril guna mempercepat pertumbuhan jamur sehingga produksi antibiotiknya dipertinggi setelah diisolasi dari cairan kultur, antibiotik dimurnikan dan ditetapkan aktifitasnya. Beberapa antibiotik tidak dibuat lagi dengan jalan biosintesis ini, melakukan secara kimiawi, antara lain kloramfenikol.
Aktivitas Umumnya dinyatakan dalam suatu berat (mg), kecuali zat yang belum sempurna pemurniannya dan terdiri dari campuran beberapa zat misalnya polimiksin B basitrasin, atau karena belum diketahui struktur kimianya, seperti, nistatin (Anief, M., 2000).
2.4    Mekanisme Kerja Antibiotik
        Beberapa antibiotik bekerja terhadap dinding sel (penisilin dan sefalosforin) atau membran sel (kleompok polimiksin), tetapi mekanisme kerja yang terpenting adalah perintangan selektif metabolisme protein bakteri sehingga sintesis protein bakteri dapat terhambat dan kuman musnah atau tidak berkembang lagi misalnya kloramfenikol dan tetrasiklin.
      Diluar bidang terapi, antibiotik digunakan dibidang peternakan sebagai zat gizi tambahan guna mempercepat pertumbuhan ternak, dan unggas yang diberi penisilin, tetrasiklin erithomisin atau basitrasin dalam jumlah kecil sekali dalam sehari harinya, bertumbuh lebih besar dengan jumlah makanan lebih sedikit (Halim, H.. 2003). 
2.5    Golongan Obat Antibiotik dan Efek yang Ditimbulkan
Antibiotik memiliki beberpa jenis golongan obat diantaranya adalah sebagai berikut.
1.    Penisilin
Penisilin diperoleh dari jamur Penicilium chrysogeneum dari bermacam-macam jemis yang dihasilkan (hanya berbeda mengenai gugusan samping R ) benzilpenisilin ternyata paling aktif. Sefalosforin diperoleh dari jamur cephalorium acremonium, berasl dari sicilia (1943) penisilin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesi dinding sel (Dwiprahasto, I. 2005). Pensilin terdiri dari :
a.    Benzil Penisilin Dan Fenoksimetil Penisilin
1)    Benzil penisilin
a)    Indikasi : infeksi saluran kemih, otitis media, sinusitis, bronchitis kronis, salmonelosis invasive, gonore.
b)    Kontraindikasi : hipersensitivitas ( alergi ) terhadap penisilin.
c)    Efek samping : reaksi alergi berupa urtikaria, demam, nyeri sendi, angioudem, leukopoia, trombositopenia, diare pada pemberian per oral.
2)    Fenoksimetil penisilin
a)    Indikasi : tonsillitis, otitis media, erysipelas, demam rematik, prpopiliaksisinfeksi pneumokokus.
b.     Pensilin Tahan Penisilinase
1)    Kloksasilin
a)    Indikasi : infeksi karena stapilokokus yang memproduksi pensilinase.
b)    Peringatan : riwayat alergi, gangguan fungsi ginjal, lesi eritematous pada glandular fever, leukemia limfositik kronik, dan AIDS.
c)    Interaksi : obat ini berdifusi dengan baik dengan jaringan dan cairan tubuh. Tapi penetrasi ke dalam cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak mengalami infeksi.
d)    Kontraindikasi : hipersensitivitas ( alergi ) terhadap penisilin.
e)    Efek samping : reaksi alergi berupa urtikaria, demam, nyeri sendi, angioudem, leukopoia, trombositopenia, diare pada pemberian per oral.
2)    Flukoksasilin
a)    Indikasi : infeksi karena stapilokokus yang memproduksi pensilinase.
b)    Peringatan : riwayat alergi, gangguan fungsi ginjal, lesi eritematous pada glandular fever, leukemia limfositik kronik, dan AIDS.
c)    Interaksi : obat ini berdifusi dengan baik dengan jaringan dan cairan tubuh. Tapi penetrasi ke dalam cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak mengalami infeksi.
d)    Kontraindikasi : hipersensitivitas ( alergi ) terhadap penisilin.
e)    Efek samping : reaksi alergi berupa urtikaria, demam, nyeri sendi, angioudem, leukopoia, trombositopenia, diare pada pemberian per oral.
c.    Pensilin Spectrum Luas
1)    Ampisilin
a)    Indikasi : infeksi saluran kemih, otitis media, sinusitis, bronchitis kronis, salmonelosis invasive, gonore.
b)    Peringatan : riwayat alergi, gangguan fungsi ginjal, lesi eritematous pada glandular fever, leukemia limfositik kronik, dan AIDS.
c)    Interaksi : obat ini berdifusi dengan baik dengan jaringan dan cairan tubuh. Tapi penetrasi ke dalam cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak mengalami infeksi.
d)    Kontraindikasi : hipersensitivitas ( alergi ) terhadap penisilin.
e)    Efek samping : reaksi alergi berupa urtikaria, demam, nyeri sendi, angioudem, leukopoia, trombositopenia, diare pada pemberian per oral.
2)    Amoxicillin







Gambar 2. Obat Amoxicillin
Amoxicillin merupakan antibiotik golongan penicillin, lebih spesifik lagi termasuk kelompok aminopenicillin seperti halnya jenis antibiotik populer lainnnya yakni ampicilin. Penggunaannya sangat luas, mulai dari untuk obati infeksi kulit, gigi, telinga, saluran napas dan saluran kemih (Sastramihardja, W., dan Herry, S .1997).
a)    Indikasi : infeksi saluran kemih, otitis media, sinusitis, bronchitis kronis, salmonelosis invasive, gonore.
b)    Peringatan : riwayat alergi, gangguan fungsi ginjal, lesi eritematous pada glandular fever, leukemia limfositik kronik, dan AIDS.
c)    Interaksi : obat ini berdifusi dengan baik dengan jaringan dan cairan tubuh. Tapi penetrasi ke dalam cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak mengalami infeksi.
d)    Kontraindikasi : hipersensitivitas ( alergi ) terhadap penisilin.
e)    Efek samping : reaksi alergi berupa urtikaria, demam, nyeri sendi, angioudem, leukopoia, trombositopenia, diare pada pemberian per oral.
d.    Penisilin Anti Pseudomona
1)    Tikarsilin
a)    Indikasi : infeksi yang disebabkan oleh pseoudomonas dan proteus.
2)    Piperasilin
a)    Indikasi : infeksi yang disebabkan oleh pseoudomonas aerugenosa.
3)    Sulbenisilin
a)    Indikasi : infeksi yang disebabkan oleh pseoudomonas aerugenosa
2.    Sefalosforin
Sefalosforin merupakan antibiotik betalaktam yang bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding mikroba. Farmakologi sefalosforin mirip dengan penisilin, ekseresi terutama melalui ginjal dan dapat di hambat probenisid. Sefalosforin terbagi atas :
a.    Cefadroxil

Gambar 3. Obat Cefadroxil
Cefadroxil merupakan generasi pertama antibiotik golongan Cephalosphorin, yang cara kerjanya hampir sama dengan Amoxicillin dan antibiotik lain di golongan penicillin (Soekardjo, B., Hardjono, S., Sondakh, R. 1996). Penggunaannya juga sama luas, mulai untuk mengobati dari infeksi kulit hingga saluran kemih.
1)    Indikasi : infeksi baktri gram (+) dan (-)
2)    Interaksi : sefalosforin aktif terhadap kuman garm (+) dan (-) tetapi spectrum anti mikroba masing-masng derrivat bervariasi.
efek samping : diare dan colitis yang disebabkan oleh antibiotic ( penggunaan dosis tinggi) mual dan mumtah rasa tidak enak pada saluran cerna sakit kepala, Dll
3)    Kontra indikasi : hipersensitivitas terahadap sefalosforin, porfiria
b.    Sefrozil
1)    Indikasi : ISPA, eksaserbasi akut dari bronchitis kronik dan
        otitis media.
c.    Sefotakzim
1)    Indikasi : profilaksis pada pembedahan, epiglotitis karena hemofilus, meningitis.
d.    Sefuroksim
1)    Indikasi : profilaksis tindakan bedah,lebih aktif terhadap H. influenzae dan N gonorrhoeae.
e.    Sefamandol
1)    Indikasi: profilaksis pada Tindakan 1 pembedahan.
f.    Sefpodoksim
1)    Indikasi: infeksi saluran napas tetapi. Penggunaan ada faringitis dan tonsillitis, hanya yang kambuhan, infeksi kronis atau resisten terhadap antbiotika lain.
3.    Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan antibiotik dengan spectrum luas. Penggunaannya semakin lama semakin berkurang karena masalah resistansi. Tetrasiklin terbagi atas :

a.    Tetrasiklin

Gambar 4. Obat Tetrasiklin
Di kalangan masyarakat bebas, tetrasiklin cukup populer karena jenis antibiotik ini paling sering jadi pilihan utama untuk mengobati infeksi kelamin seperti chlamydia dan gonorrhea atau kencing nanah. Penggunaan antibiotik jenis ini mulai dibatasi, karena memicu masalah resistensi yang membuat kuman gonorrhea jadi kebal antibiotik (Tjay, T.H., dan Rahardja, K.. 2002).
1)    Indikasi: eksaserbasi bronkitri kronis, bruselosis (lihat juga keterangan diatas) klamidia, mikoplasma, dan riketsia, efusi pleura karena keganasan atau sirosis, akne vulganis.
2)    Peringatan: gangguan fungsi hati (hindari pemberian secara i.v), gangguan fungsi ginjal (lihat Lampiran 3), kadang-kadang menimbulkan fotosintesis.
3)    Efek samping: mual, muntah, diare, eritema.
b.    Demeklosiklin Hidroklorida
1)    Indikasi: tetrasiklin. Lihat jugas gangguan sekresi hormone antidiuretik.
2)    Perhatian : kontaindikasi; efek samping lihat tetrasiklin. Fotositivtas lebih sering terjadi pernah dilaporkan terjadinya diabeters indipidus nefrogenik.
c.    Doksisiklin
1)    Indikasi: tetrasiklin.bruselosis (kombniasi dengan tetrasiklin), sinusitis kronis , pretatitis kronis, penyakit radang perlvis (bersama metronidazo)
d.    Oksitetrasiklin
1)    Indikasi ; peringatan; kontaindikasi; efek samping; lihat tetrasilin; hindari pada porfiria.
2)    Dosis: 250-500 mg tiap 6 jam, Oxytetracycline ( generic ) cairan Inj. 50 mg/ vial (K), Teramycin (Pfizer Indonesia) cairan inj. 50 mg/ vial. Kapsul 250 mg (K).
4.    Aminoglikosida
Aminoglikosida bersifat bakterisidal dan aktif terhadap bakteri gram posistif dan gram negative. Aminasin, gentamisin dan tobramisin d juga aktif terhadap pseudomonas aeruginosa. Streptomisin aktif teradap mycobacterium tuberculosis dan penggunaannya sekarang hamper terbatas untuk tuberkalosa.
a.     Amikasin
1)    Indikasi : infeksi generatif yang resisten terhadap gentamisin.
b.    Gentamisin

Gambar 5. Obat Gentamisin
1)    Indikasi : septicemia dan sepsis pada neonatus, meningitis dan infeksi SSP lainnya. Infeksi bilier, pielonefritis dan prostates akut, endokarditis karena Str viridans. Atau str farcalis (bersama penisilin, pneumonia nosokomial, terapi tambahan pad meningitis karena listeria.
2)    Peringatan : gangguan funsi ginjal, bayi dan usia lanjut (sesuaikan dosso, awasi fungsi ginjal, pendengaran dan vestibuler dan periksa kadar plasma), hindari penggunaan jangka panjang.
3)    Kontraindikasi: kehamilan, miastenia gravis.
4)    Efek samping : gangguna vestibuler dan pendengaran, netrotoksista, hipomagnesemia pada pemberian jangka panjang colitis karena antibiotic.
5)    Dosis : injeksi intramuskuler, intravena lambat atau infuse, 2-5 mg/ kg/ hari ( dalam dosis terbagai tiap 8 jam) lihat juga keterangan diatas sesuaikan dosis terbagi tiap 8 jam ) lihat juga keterangan fungsi ginjal dan ukur kadar dalam plasma.
c.    Neomisin Sulfat
1)    Indikasi: Sterilisasi usus sebelum operasi
d.    Netilmisin
1)    Indikasi: infeksi berat kuman gram negative yang resisten terhadap gentainisin.
5.    Kloramfenikol

Gambar 6.  Obat Kloramfenikol
Kloramfenikol adalah antibiotik yang mempunyai aktifitas bakteriostatik, dan pada dosis tinggi bersifat bakterisid. Aktivitas antibakterinya dengan menghambat sintesa protein dengan jalan mengikat ribosom subunit 50S, yang merupakan langkah penting dalam pembentukan ikatan peptida. Kloramfenikol efektif terhadap bakteri aerob gram-positif, termasuk Streptococcus pneumoniae, dan beberapa bakteri aerob gram-negatif, termasuk Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis, Salmonella, Proteus mirabilis, Pseudomonas mallei, Ps. cepacia, Vibrio cholerae, Francisella tularensis, Yersinia pestis, Brucella dan Shigella (Mutschler, E., 1991).
a.    Kontraindikasi: wanita hamil, penyusui dan pasien porfiria.
b.    Efeks samping : kelainan darah yang reversible dan irevesibel seperti anemia anemia aplastik ( dapat berlanjut mejadi leukemia), neuritis perifer, neuritis optic, eritem multiforme, mual, muntah, diare, stomatitis, glositits, hemoglobinuria nocturnal.
6.    Makrolida
Eritromisin memiliki spectrum antibakteri yang hampir sama dengan penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai alternative penisilin. Indikasi eritremisin mencakup indikasi saluran napas, pertusis, penyakit gionnaire dan enteritis karena kampilo bakteri. Jenis obat yang termasuk makrolida adalah sebagai berikut.
a.    Eritromisin

Gambar 7. Obat Eritromisin
Erythromicin merupakan antibiotik golongan makrolid yang sering diberikan pada pasien yang alergi penicillin. Penggunaannya lebih luas dari penicillin maupun cephalosphorin, sehingga sering dipakai sebagai pilihan pertama untuk pengobatan pneumonia atipik.
1)    Indikasi: sebagai alternative untuk pasien yang alergi penisilin untuk pengobatan enteritis kampilobakter, pneumonia, penyakit legionaire, sifilis, uretritis non gonokokus, protatitis kronik, akne vulgaris, dan rpofilaksis difetri dan pertusis.

b.    Azitromisin
1)    Indikasi: infeksi saluran napas, otitis media, infeksi klamida daerah genital tanpa kompliasi.
c.    Klaritromisin
1)    Indikasi : infeksi saluran napas, infeksi ringan dan sedang pada kulit dan jaringan lunak; terapi tambahan untuk eradikasi helicobacter pylori pada tukak duodenum.
7.    Polipeptida
Kelompok ini terdiri dari polimiksin B, polimiksin E (= kolistin), basi-trasin dan gramisidin, dan berciri struktur polipeptida siklis dengan gugusan-gugusan amino bebas. Berlainan dengan antibiotika lainnya yang semuanya diperoleh dari jamur, antibiotika ini dihasilkan oleh beberapa bakteri tanah. Polimiksin hanya aktif terhadap basil Gram-negatif termasuk Pseudomonas, basitrasin dan gramisidin terhadap kuman Gram-positif.
Khasiatnya berupa bakterisid berdasarkan aktivitas permukaannya (surface-active agent) dan kemampuannya untuk melekatkan diri pada membran sel bakteri, sehingga permeabilitas sel diperbesar dan akhirnya sel meletus. Kerjanya tidak tergantung pada keadaan membelah tidaknya bakteri, maka dapat dikombinasi dengan antibiotika bakteriostatik seperti kloramfenikol dan tetrasiklin. Resorpsinya dari usus praktis nihil, maka hanya digunakan secara parenteral, atau oral untuk bekerja di dalam usus. Distribusi obat setelah" injeksi tidak merata, ekskresinya lewat ginjal.
Antibiotika ini sangat toksis bagi ginjal, polimiksin juga untuk organ pendengar. Maka penggunaannya pada infeksi dengan Pseu¬domonas kini sangat berkurang dengan munculnya antibiotika yang lebih aman (gentamisin dan karbenisilin).
8.    Antimikrobakterium
Golongan antibiotika dan kemoterapetka ini aktif terhadap kuman mikobakterium. Termasuk di sini adalah obat-obat anti TBC dan lepra, misalnya rifampisin, streptomisin, INH, dapson, etambutol dan lain-lain.
2.6    Penggunaan Antibiotik pada Manusia









Gambar 8. Pemberian antibiotik pada bayi
Penggunaan antibiotika yang berlebih dapat menimbulkan banyak masalah. Efek yang ditimbulkan dapat bersifat jangka panjang, untuk beberapa jenis antibiotika. Apabila antibiotika seperti Penicillin, digunakan tidak sesuai dengan aturan pemakaian yang benar, atau di gunakan kurang dari lama waktu yang seharusnya, maka bakteri akan membentuk sistem pertahanan terhadap antibiotika tersebut. Rantai pertahanan tersebut akan dengan mudahnya menetralkan efek Penicillin, ketika kuman kontak kembali dengan Penicillin. Dan dengan demikian, obat tersebut  menjadi tidak efektif. Ketika suatu bakteri menjadi resisten atau kebal terhadap suatu obat, maka obat tersebut menjadi tidak berguna. Akibatnya,  dibutuhkan antibiotika yang lebih kuat untuk membasmi bakteri tersebut. Sayangnya, proses terjadinya resitensi terhadap antibiotika lebih cepat terjadi di bandingkan proses pembuatan suatu produk antibiotika yang baru oleh perusahaan farmasi (Tjay, T.H., dan Rahardja, K. 2002).
Dikarenakan penggunaan antibiotika yang belebih, reaksi alergi terhadap terhadap obat ini pun  pada umumnya meningkat. Biasanya hanya 5 – 10 % orang yang akan memberikan reaksi alergi terhadap antibiotika, dan umumnya terhadap obat Penicillin. Saat ini, semakin seringnya seseorang mengkonsumsi antibiotika, akan meningkatkan pula angka reaksi alergi terhadap obat ini. Reaksi alergi yang timbul bentuknya bervariasi, mulai kemerahan pada kulit (rash), reaksi pembengkakan jaringan tubuh (edema), hingga muncul reaksi anafilaksis yang menyebabkan pembengkakan pada saluran pernapasan, bahkan dapat terjadi shock (keadaan tubuh, yang disebabkan karena adanya gangguan distribusi cairan dan darah, yang apabila tidak diatasi segera, akan mengakibatkan kerusakan organ). Reaksi diatas  tidak hanya muncul akibat penggunaan Penicillin saja, namun berlaku juga untuk Golongan antibiotika yang lain. Obat yang lain yang dapat menimbulkan reaksi diatas adalah obat golongan cephalosporin dan tetracycline (Oktateria L. 2008).
Antibiotika seperti tetracycline dan amoxicillin dapat mengganggu flora normal yang hidup di usus halus, seperti Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium bifidus. Manifestasi yang muncul seperti diare, bersendawa, dan kembung. Saat ini terdapat bukti penelitian mengenai hubungan gangguan terhadap bakteri/flora normal yang hidup di usus, sangat berperan dalam proses terjadinya penyakit pada usus besar, seperti Colitis Ulserative (infeksi pada kolon / terdapat borok pada usus besar) dan kanker colon (usus besar). Masalah lain yang dapat timbul akibat terganggunya bakteri/flora normal yang hidup di usus adalah berkembangnya jamur dan ragi (yeast) di dalam usus, dimana dengan adanya kedua parasit tesebut dapat memicu timbulnya Candidiasis Usus Halus. Hal ini sedang menjadi masalah besar di beberapa negara di dunia barat, dan sayangnya, masalah ini berkaitan dengan penggunaan antibiotika. Candidiasis merupakan penyakit yang hanya muncul pada seseorang dengan gangguan imunitas, misalnya pada bayi yang sistem kekebalan tubuh masih dalam tahap perkembangan, atau keadaan kekebalan yang menurun karena alasan tertentu, seperti penggunaan steroid dalam jangka waktu yang lama. Pada tahun 1990-an, Candidiasis usus menyerang semua Golongan usia, dan seluruh jenis ras. Hal ini menunjukkan bahwa kekebalan tubuh sedang di ancam.
Antibiotika juga memberikan efek menekan sistem pertahanan tubuh. Beberapa antibiotika, termasuk tetracycline dan golongan Sulfonamide, dapat menghambat aktivitas sel darah putih, yang tugasnya adalah untuk “memakan” dan menghancurkan bakteri.  Beberapa antibiotika lain juga di ketahui memiliki efek dalam menghambat produksi antibodi, yang mengakibatkan menurunnya kekebalan tubuh. Pada tahun 1974, telah di terbitkan hasil sebuah penelitian, yang diperkuat dengan hasil penelitian pada tahun 1991, yang menyatakan bahwa anak-anak dengan keluhan nyeri telinga dan mendapat terapi antibiotika, terutama pada beberapa hari pertama, cenderung mengalami kekambuhan, di bandingkan mereka yang mendapat pengobatan antibiotika beberapa hari setelah keluhan muncul. Dalam pola pengobatan konvensional, sudah sangat di terima oleh khalayak ramai, bahwa dokter seharusnya memberikan pengobatan terhadap nyeri telinga lebih lambat atau tidak di obati sama sekali.
2.7    Penggunaan Antibiotik pada Ternak
Penggunaan antibiotik di bidang peternakan sudah sangat luas, baik sebagai imbuhan pakan maupun untuk tujuan pengobatan. Dampak yang ditimbulkan bisa menguntungkan atau merugikan tergantung dari berbagai faktor, termasuk dosis, route pemberian, dan sering tidaknya antibiotik jenis tertentu digunakan.









Gambar 9. Penggunaan antibiotik terhadap ternak

1.    Dampak Positif Penggunaan Antibiotik Sebagai Imbuhan Pakan Ternak
Pada usaha peternakan modern, imbuhan pakan (feed additive) sudah umum digunakan oleh peternak. Suplemen ini dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi pakan dengan mengurangi mikroorganisme pengganggu (patogen) atau meningkatkan populasi mikroba yang menguntungkan yang ada di dalam saluran pencernaan.
Penggunaan preparat antibiotik sebagai imbuhan pakan bertujuan untuk memperbaiki tampilan produksi ternak, seperti : peningkatan laju pertumbuhan, sehingga mendekati pertumbuhan yang ideal sesuai dengan potensi genetik yang dimiliki ternak. Perbaikan konversi pakan dan perbaikan kondisi tubuh ternak, sehingga antibiotik sebagai imbuhan pakan disebut sebagai Antibiotic Growth Promotors (AGP). Penggunaan AGP dalam pakan telah terbukti menguntungkan. Keuntungan yang bisa diperoleh antara lain (1) kondisi sel-sel epitel usus akan jauh lebih baik, termasuk perkembangan jaringan limfoid yang ada di usus (Oktateria L. 2008). Keadaan ini akan menciptakan kesehatan ternak yang lebih optimal dengan respon pertahanan tubuh serta reaksi imunologis yang lebih baik. Dan selanjutnya akan menurunkan angka kematian ternak dan menekan biaya pengobatan (2) reruntuhan sel-sel yang dikeluarkan lewat feses pada ternak yang mengkonsumsi AGP lebih sedikit, dengan demikian jumlah feses secara total juga sedikit, sehingga hal ini akan mengurangi kontaminasi lingkungan dan menekan biaya penanganan limbah (3) kadar amoniak dalam feses pada ternak pengkonsumsi AGP jauh lebih rendah (4) tidak mengganggu fungsi biologis flora di dalam usus dan tidak bertujuan membunuh bakteri yang bersifat patogen, karena jumlah antibiotik yang digunakan sebagai AGP jauh di bawah dosis terapeutik (pengobatan) ataupun kadar hambat minimal (MIC: Minimal Inhibitory Concentration) dan tidak menyebabkan resistensi terhadap bakteri.

a.    Batas toleransi antibiotik
Sebagai konsekuensi keadaan di atas, maka mengharuskan pemerintah menetapkan batas-batas keamanan residu dalam pakan dan produk-produk ternak yang diperdagangkan.
Produk daging, telur dan susu yang mengandung residu obat masih layak untuk dikonsumsi, jika kadar residu masih berada di bawah batas toleransi. Batas toleransi adalah kadar residu obat maksimal yang masih diperkenankan terdapat dalam daging ayam yang dikonsumsi. Obat yang sangat toksik yang mempunyai potensi karsinogenik (dapat menyebabkan kanker), toleransi kadar residunya di dalam daging ayam harus nol (Riti N, Handayani N, Dewi A. 2002).
Diperlukan perangkat-perangkat lunak dalam bentuk aturan-aturan untuk melindungi konsumen dari akibat negatif di atas. Aturan-aturan tersebut ditujukan terutama untuk produsen pakan ternak, pabrik obat-obatan hewan, semua orang termasuk Dokter Hewan dan peternak yang terlibat dengan penggunaan obat-obatan hewan. Batas-batas toleransi residu pada spesies ternak dan jaringan tubuh ternak ditentukan melalui uji coba atau penelitian dengan menggunakan hewan-hewan percobaan yang peka terhadap jenis obat yang digunakan dalam praktek. Keputusan batas-batas toleransi dan pemberian izin produksi obat-obatan setiap saat dapat berubah apabila hasil penelitian mengharuskannya.
2.    Dampak Negatif Penggunaan Antibiotik di Bidang Peternakan
a.    Residu antibiotik
Tiap senyawa anorganik atau organik, baik yang berupa obat-obatan, mineral atau hormon yang masuk atau dimasukkan ke dalam tubuh individu, akan mengalami berbagai proses yang terdiri dari : penyerapan (absorbsi), distribusi, metabolisme (biotransformasi) dan eliminasi (Oktateria L. 2008).
Kecepatan proses biologik tersebut di atas tergantung kepada jenis dan bentuk senyawa, cara masuknya dan kondisi jaringan yang memprosesnya. Apabila bahan tersebut dimasukkan melalui mulut, penyerapan terjadi di dalam saluran pencernaan yang sebagian besar dilakukan oleh usus. Setelah terjadi penyerapan , senyawa yang berbentuk asli maupun metabolitnya akan dibawa oleh darah dan akan didistribusikan ke seluruh bagian tubuh. Metabolisme akan terjadi di dalam alat-alat tubuh yang memang berfungsi untuk hal tersebut dan pada sel-sel serta jaringan yang mampu melakukannya. Eliminasi akan dilakukan oleh alat-alat ekskresi, terutama ginjal, dalam bentuk kemih dan lewat usus dalam bentuk tinja (Sjahrurachman, A., Kumala, W., Nurjadi, T., 1999).
Senyawa-senyawa dalam bentuk asli maupun metabolitnya akan tertinggal atau tertahan di dalam jaringan untuk waktu tertentu tergantung pada waktu paruh senyawa tersebut atau metabolitnya. Pada kondisi ternak yang sehat kecepatan eliminasi akan jauh lebih cepat daripada ternak sakit. Dalam keadaan tubuh lemah atau terdapat gangguan alat metabolisme, maka eliminasi obat akan terganggu. Apabila senyawa-senyawa tersebut diberikan dalam waktu yang lama, maka akan terjadi timbunan senyawa atau metabolitnya di dalam tubuh, itulah yang disebut dengan residu. Jadi residu obat adalah akumulasi dari obat atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan/ternak setelah pemakaian obat hewan.
Pada usaha peternakan, residu dapat ditemukan pada bahan-bahan yang berasal dari ternak sebagai akibat penggunaan obat-obatan, termasuk antibiotik, pemberian feed additive, ataupun hormon yang digunakan untuk memacu pertumbuhan hewan. Semakin intensif suatu usaha peternakan maka kemungkinan untuk tertimbunnya residu semakin besar dan bahkan tidak terhindarkan lagi. Residu juga bisa berasal dari obat-obatan yang digunakan untuk mencegah kerusakan bahan pakan, yang mungkin bisa berupa pestisida, herbisida, fungisida dan antiparasitika
Terdapat lebih dari 40 jenis antibiotik (termasuk senyawa sulfa) telah digunakan dalam upaya peningkatan hasil usaha di bidang peternakan (Riti N, Handayani N, Dewi A. 2002). Penggunaan antibiotik untuk tujuan pengobatan penyakit atau untuk memacu pertumbuhan pada ternak harus dilandasi dengan pengetahuan farmakokinetik dan farmakodinamik serta patofisiologi, jika tidak maka akan timbul kerugian yang besar, baik berupa bahaya terhadap ternak itu sendiri maupun terhadap manusia yang mengkonsumsinya.
Seringkali peternak tidak memperhatikan aturan pakai pemberian antibiotik, sehingga antibiotik yang diberikan sering di bawah dosis sehingga tidak manghasilkan kesembuhan pada ternak. Antibodi yang dibentuk di dalam tubuh tidak dapat pulih kembali, agen penyakit terus berkembang dalam kondisi yang lebih resisten. Selanjutnya penyakit akan kembali lagi dengan serangan yang lebih hebat dan tidak peka lagi terhadap jenis antibiotik yang sama dalam dosis yang sama. Keadaan tersebut memaksa petermak mempertinggi dosis pemakaian antibiotik. Akibat selanjutnya akan timbul shock pada ternak dan akan membunuh flora yang berada di usus ternak, sehingga sintesis vitamin oleh tubuh ternak terganggu serta terjadi super infeksi (infeksi baru).
Hal lain yang perlu untuk dipelajari adalah bahwa antibiotik tidak dapat seluruhnya diekskresi dari jaringan tubuh ternak, seperti : daging, air susu dan telur. Hal ini berarti sebagian antibiotik masih tertahan dalam jaringan tubuh sebagai bentuk residu.
Terdapat beberapa residu obat yang terdapat dalam produk ternak setelah pengolahan. Residu obat yang sering ditemukan antara lain adalah tetrasiklin, streptomisin, khloramfenikol dan benzyl-penicillin.
Tetrasiklin yang terdapat pada produk ternak sebanyak 5 ppm sampai dengan 10 ppm akan didegradasi dan hanya tersisa 1 ppm. Toksisitas produk degradasi tersebut belum diketahui. Streptomisin tidak terpengaruh oleh pemanasan pada temperatur 1000C selama 2 jam. Khloramfenikol stabil terhadap panas. Pemanasan pata temperatur 1000C selama 30 menit akan menurunkan kadar menjadi 80%. Khloramfenikol hanya boleh digunakan oleh ternak bukan produksi.
Pemanasan pada temperatur 600C sampai 850C akan menyebabkan benzyl-penicillin yang terdapat dalam daging terdegradasi dan dengan pemanasan yang lebih tinggi lagi meyebabkan terjadinya isomerisasi dari produk degradasi tersebut. Toksisitas produk degradasi tersebut belum diketahui.
Problem kesehatan manusia akan timbul jika manusia mengkonsumsi hasil ternak yang mengandung residu antibiotik. Beberapa efek yang mungkin timbul pada manusia akibat residu antibiotik, antara lain Penicillin seringkali menyebabkan alergi bagi manusia yang mengkonsumsinya dan menyebabkan gangguan kulit, kardiovaskuler, traktus gastrointestinalis, berupa diare dan sakit perut serta urtikaria dan hipotensi. Tetracyclin menyebabkan gangguan kulit, fotosensitifitas, muntah, diare, shock anafilaksis yang diikuti kematian. Streptomycin menimbulkan gangguan pada susunan syaraf pusat dan tepi, pusing-pusing, gangguan alat pendengaran, gangguan keseimbangan, vertigo dan ketulian. Chloramfenikol menimbulkan anemia dan leukopenia (Moats WA, Khan RH. 1995).
Selain pengaruh-pengaruh di atas, antibiotik juga berdampak negatif terhadap ternak, antara lain berupa hambatan pertumbuhan, penurunan daya tetas, toksisitas dan residunya dalam telur, daging maupun susu. Furaltadone bersifat menghambat pertumbuhan, Furazalidone menyebabkan penurunan daya tetas dan kelompok Sulfa sering menyebabkan toksisitas apabila kelebihan dosis. Chlorampenicol, Doxycyclin, Spyramycin, Tylosin, ditemukan :sebagai residu dalam telur dan daging.Tetracyclin,:Chloramphenicol dan Neomycin (TCN), mengganggu kehidupan mikroflora usus.

b.    Resistensi bakteri
Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain (1) adanya mikroorganisme yang menghasilkan enzim yang dapat merusak aktivitas obat (2) adanya perubahan permeabilitas dari mikroorganisme (3) adanya modifikasi reseptor site pada bakteri sehingga menyebabkan afinitas obat berkurang (4) adanya mutasi dan transfer genetik.
Transfer genetik antara strain Shigella telah ditemukan oleh Watanebe (1963), antara strain Gram negatif ditemukan oleh Falkow et al. (1966). Transfer resistensi bisa terjadi dari satu penderita ke penderita dan dari pangan asal ternak ke manusia.
Ransum ternak dan ikan pada awalnya tidak diberi tambahan antibakteri, tetapi dalam dekade terakhir antibakteri banyak digunakan dengan alasan untuk memperbaiki pertumbuhan dan produksi (Halim, H., 2003). Di Denmark, penggunaan antibakteri untuk kepentingan pakan tambahan jauh lebih besar daripada untuk tujuan pengobatan. Di Indonesia, penggunaan antibakteri sebagai pakan tambahan sudah digunakan dalam waktu yang cukup lama, namun sampai saat ini belum ada monitoring untuk mengetahui dampak negatif dari antibakteri tersebut. Di Negara-negara Eropa, monitoring tersebut sudah dilakukan secara rutin, dan karena terbukti memberikan dampak negatif, maka muncul larangan terhadap penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan. Larangan tersebut berawal dari diketahuinya bakteri yang resisten terhadap tetrasiklin, dimana tetrasiklin merupakan antibakteri yang paling banyak digunakan di Eropa.
Resistensi bakteri terhadap antibakteri sebagian besar terjadi karena perubahan genetik dan dilanjutkan serangkaian proses seleksi oleh antibakteri. Seleksi antibakteri adalah mekanisme selektif antibakteri untuk membunuh bakteri yang peka dan membiarkan bakteri yang resisten tetap tumbuh. Proses seleksi ini terjadi karena penggunaan antibakteri yang sama yang tidak terkendali (Hidayati, W.B., 2004).
Resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat ditekan melalui cara-cara, antara lain (1) mempertahankan kadar antibiotik yang cukup dalam jaringan untuk menghambat populasi bakteri asli dan yang mengalami mutasi tingkat rendah (2) memberi dua obat yang tidak memberi resisten silang secara simultan, masing-masing menunda timbulnya mutan resisten terhadap obat yang lain.
Pada awalnya masalah resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa diatasi dengan penemuan golongan baru antibiotik dan modifikasi kimiawi antibiotik yang sudah ada, namun tidak ada jaminan bahwa pengembangan antibiotik baru dapat mencegah kemampuan bakteri pathogen untuk menjadi resisten. Bakteri memiliki seperangkat cara beradaptasi terhadap lingkungan yang mengandung antibiotik. Problem yang cukup penting adalah kemampuan bakteri untuk mendapatkan materi genetik eksogenous yang bisa menimbulkan terjadinya resistensi. Spesies pneumokokki dan meningokokki dapat mengambil materi DNA dari luar sel (eksogenous) dan mengkombinasikannya ke dalam kromosom.

                                                                      BAB III
                                                                     PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.    Farmakodinamik merupakan bagian ilmu farmakologi yang mempelajari efek fisiologik dan biokimiawi obat terhadap berbagai jaringan tubuh yang sakit maupun sehat serta mekanisme kerjanya.
2.    Antibiotik adalah suatu zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama fungi, yang dapat menghambat pertumbuhan atau membasmi jenis mikroba lain.
3.    Pembuatan antibiotik lazimnya dilakukan dengan jalan mikrobiologi dimana mikro organisme dibiak dalam tangki-tangki besar dengan zat-zat gizi khusus.
4.    Mekanisme kerja yang terpenting dari obat antibiotik adalah  perintangan selektif metabolisme protein bakteri sehingga sintesis protein bakteri dapat terhambat dan kuman musnah atau tidak berkembang lagi misalnya kloramfenikol dan tetrasiklin.
5.    Obat yang termasuk ke dalam golongan antibiotik adalah penisilin, sefalosfanin, tetrasiklin, aminoglosida, kloramtenikol, makroloida, polipeptida, dan antimikrobakterium.
6.    Penggunaan antibiotik pada tubuh manusia akan menjadi tidak efektif ketika dikonsumsi tidak sesuai aturan, dan akan menyebabkan virus menjadi kebal dan sistem pertahanan tubuh menjadi melemah.
7.    Penggunaan antibiotik pada hewan ternak sudah sangat sering digunakan baik sebagai imbuhan pakan maupun untuk tujuan pengobatan. Dampak yang ditimbulkan bisa menguntungkan atau merugikan tergantung dari berbagai faktor, termasuk dosis, route pemberian, dan sering tidaknya antibiotik jenis tertentu digunakan.

                                                                  DAFTAR PUSTAKA
Agoes, A,. 1990. Penggunaan Antibiotik dan Infeksi Nosokomial.  Majalah Medika. Nomor 8 (16), 642 – 645.
Anief, M.. 2000.  Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaan.  Gadjah Mada University, Yogyakarta.
Dwiprahasto, I, 2005. Evidence Based Medicine Sebagai dasar Penggunaan Antibiotika Yang Rasional. Makalah dalam Seminar Nasional ISMAFARSI. Fakultas Farmasi Sanata Dharma, Jogjakarta.
Ganiswara. et.al. 1995. Farmakologi obat. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Diakses Tanggal 1 April 2013.
Halim, H.. 2003. Resistensi Bakteri Terhadap Antibiotik. (http://warta.ubaya.ac.id/indexusp?c=101,id=588. Diakses Tanggal 1 April 2013).
Hayes, Evelyn R.. 1996.    Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan.  Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Hidayati, W.B.. 2004. Co-Amoksiklav Atasi Kegagalan Terapi Antibiotik Akibat Resistensi. (on line). (http://www.tempo.co.id/medika/arsip/092001/kes-j.htm. Diakses Tanggal 3 April 2013).
Kee, Joyce L. 1986.   IPI (Informasi Akurat Produk Farmasi di Indonesia). Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Lehne. 1988. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan.  Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Moats WA, Khan RH. 1995. Rapid HPLC determination of Tetracycline antibiotics in milk. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 43: 931-934.
Mutschler, E.. 1991. Dinamika Obat, Edisi V. diterjemahkan oleh Widianto M.B., dan Rantai, A.S.. 623-625. Penerbit TA Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Oktateria L. 2008. Deteksi residu antibodi oksitetrasiklin dengan metode ELISA [skripsi]. Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila Jakarta.
Riti N, Handayani N, Dewi A. 2002. Survei residu antibiotika asal hewan di kabupaten Badung tahun 2002. [terhubung berkala]. http://poultryindonesia.com/antibiotik-dalam-pakan-ternak.pdf. Diakses Tanggal 1 April 2013
Sastramihardja, W., dan Herry, S.. 1997. Penggunaan Antibiotik Yang Rasional. Cetakan Pertama. 1-113. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta.
Sjahrurachman, A., Kumala, W., Nurjadi, T.. 1999. Kepekaan Kuman Terhadap Antibiotik Golongan Kuinolon dan Sefalosporin. Cermin Dunia Kedokteran, No. 124, 18.
Soekardjo, B., Hardjono, S., Sondakh, R. 1996. Kimia Medisinal, Hubungan Struktur Aktivitas Obat Antibiotika. Editor Siswandono dan Soekardjo, B., Edisi Kedua, 109-161. Airlangga University Press, Surabaya.
Tjay, T.H., dan Rahardja, K.. 2002. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Edisi Kelima, Cetakan kedua, 56, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Watanebe. 1963. Penggunaan Antibiotik dan Infeksi Nosokomial.  Majalah
Medika. Nomor 8 (16), 642 – 645.
Wattimena, J.V.R., Nelly, Sugiarso, M., Mathalda, B.,Widianto. 1991.  Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Kamis, 01 Agustus 2013

Kehidupan Sapi Bali di Perkotaan

      Sapi bali merupakan salah satu hewan yang terdapat di pulau bali. Hewan ini merupakan keturunan Bos sondaicus yang berhasil dijinakkan, dengan ciri-ciri khas putih pada bagian-bagian tubuh tertentu yaitu : pada kaki yang diawali dari sendi tartus dan carpus ke bawah sampai batas kuku, pada bagian belakang  pelvis, tepi daun telinga bagian dalam dan bibir bawah., memiliki bulu sawo matang, sedang yang betina dewasa berbulu merah bata sejak lahir. Adapun yang jantan dewasa, mempunyai warna bulu hitam. Bila yang jantan dewasa kebiri, maka warna bulu hitam akan berubah menjadi merah bata kembali. Dari karakteristik karkas, sapi bali digolongkan sapi pedaging ideal ditinjau dari bentuk badan yang kompak dan serasi, bahkan nilai lebih unggul daripada sapi pedaging . Oleh karena itu dianggap lebih baik sebagai ternak pada iklim tropik yang lembab karena memperlihatkan kemampuan tubuh yang baik dengan pemberian makanan yang bernilai gizi tinggi.
        Masyarakat di Indonesia khususnya masyarakat Bali, melakukan perkembangbiakan sapi bali ini, dilakukan  dalam suatu kandang agar nantinya binatang ini bisa hidup dengan nyaman dan tenang, tidak terganggu dari faktor luar seperti kepanasan terkena sinar matahari dan kedinginan terkena hujan yang deras. Hal tersebut dilakukan selain dapat melindungi sapi dari factor yang merugikan itu juga bisa mendapatkan perkembangan sapi yang lebih optimal seperti pada sapi betina akan lebih cepat untuk melahirkan. Pemberian pakan pada sapi biasanya diberikan berupa pakan alami dan pakan buatan jadi. Pakan alami yang dimaksud seperti rumput gajah, lentoro, gamal dan yang lainnya yang sejenis dengan itu. Sedangkan pakan buatan jadinya ialah suatu pakan yang dibuat dari beberapa bahan yang diolah mengguanakan sitem tertentu untuk  menambah kandungan nutrisi pada suatu pakan. Contohnya seperti poral.
       Pemilihaaran sapi bali itu sangat tergantung dari lingkunagn, jika lingkungan lebih hijau dan subur maka pertumbuhannya pun akan lebih cepat dan dan tempat perkembangbiakannya bisa lebih optimal, sedangkan jika lingkungan lebih gersang dan kering maka pertumbuhan sapi bali ini akan menjadi lebih lambat dan perkembangbiakannya itu kurang optimal. Seperti halnya yang terjadi di pusat kota Denpasar. Wilayah ini merupakan salah satu kota yang penduduknya terpadat di Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan banyak lahan-lahan kosong yang digunakan sebagai tempat perumahan atau pabrik-pabrik, baik itu pabrik milik pribadi, lembaga, maupun pemerintah. Sehingga lahan kosong atau perkebunan semakin menipis dan tempat untuk memelihara binatang seperti sapi bali ini menjadi sangat kurang. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat perkotaan kebanyakan  memelihara binatangnya itu di suatu tempat yang kuarang tepat untuk perkembangbiakan suatu binatang. seperti ada bebrapa masyarakat yang melakukan perkembangbiakan sapi bali tidak sesuai dengan tempat yang bagus untuk pengembangan sapi bali, bahkan ada yang sampai memelihara sapinya itu dipinggir jalan yang tempatnya dikelilingi oleh bebetonan bekas-bekas perumahan atau bangunan lainnya. Hal tersebut sangatlah tidak sesuai dengan animal welfare (Kesejahteraan hewan). Dikarenakan berdasarkan animal welfare (Kesejahteraan hewan) memelihara hewan yang baik itu salah satunya ialah hewan yang kita pelihara itu tidak mengalami kesakitan, atau gangguan baik dari factor luar (External factor)  maupun factor dalam (Internal factor).
      Apabila hal tersebut terus menerus dilaksanakan maka lama-kelamaan sapi akan mengalami kesakitan, sehingga perlu adanya perhatian dari pihak pemerintah khususnya bidang kedokteran hewan untuk menangani sapi-sapi seperti itu. Agar nantinya sapi-saoi tersebut bisa hidup dengan layak yang sesuai dengan animal welfare.